Pengamat Properti, Panangian Simanungkalit dalam bincang santai dengan media. (FOTO: Siardaily)
SIARDAILY, Jakarta – Kekurangan ketersediaan perumahan rakyat atau backlog hingga saat ini mencapai 12,71 juta unit rumah. Sedangkan laju pertumbuhan keluarga baru yang membutuhkan rumah berkisar 700- 800 ribu keluarga per tahun.
Selain itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengungkapkan, realisasi Program Satu Juta Rumah, sejak 2015 dicanangkan hingga 2022, baru mencapai 7,99 juta unit rumah. Artinya, kesenjangan kebutuhan hunian masih terbentang lebar.
Pengamat Properti, Panangian Simanungkalit menilai, sektor perumahan, khususnya perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) selama ini memang masih belum mendapat perhatian serius dari pemerintah. Kondisi itu terlihat, dengan masih banyaknya masyarakat yang belum memiliki atau belum bertempat tinggal di hunian yang layak dan berkualitas.
“Artinya, sektor perumahan berjalan di tempat, bahkan berjalan mundur. Permasalahan backlog (kekurangan perumahan) saat ini masih belum teratasi, bahkan jumlahnya semakin meningkat. Untuk itu, kita berharap pemerintah yang akan datang agar lebih memperhatikan hunian rakyat, terutama bagi Milenial dan MBR,” ujar pakar properti nasional ini, saat bincang santai dengan awak media di Jakarta, Rabu 4 Oktober 2023.
Baca Juga : Penyediaan Rumah Rakyat Masih Hadapi Hambatan
Apalagi, kata Panangian, pemerintah sendiri memiliki program yang cukup bagus, yakni menargetkan Zero Backlog pada tahun 2045. “Program ini sangat mulia, tapi jelas membutuhkan kebijakan atau program yang tidak biasa. Strateginya harus matang. Jika tidak, program ini hanya akan jadi mimpi belaka,” tambahnya.
Lebih lanjut, Panangian mengatakan, Presiden Joko Widodo dalam sambutannya pada saat Musyawarah Nasional (Munas) REI 2023 lalu mengaku bahwa backlog perumahan kita masih 12,7 juta unit. Padahal, Kementerian PUPR selalu klaim setiap tahun sudah membangun satu juta rumah.
“Pertanyaannya, mengapa dari 2014 sampai 2023, angka backlog tidak berkurang dan seperti jalan di tempat? Kalau klaim Kementerian PUPR benar, harusnya sekarang sudah berkurang sembilan juta sejak 2014. Tapi nyatanya, seperti lagu ‘aku masih seperti yang dulu‘,” tutur Panangian.
Sementara itu, berbicara soal target Zero Backlog pada tahun 2045, menurut Panangian, perlu upaya keras dan kerja yang cerdas untuk mencapai ke sana. Kalau sekarang jumlahnya backlog mencapai 12,7 juta unit, berarti harus dihitung berapa unit yang akan dibangun dalam waktu 21 tahun mendatang. “Ya, setidaknya kita butuh bangun membangun sekitar 600 ribu unit per tahun,” ujarnya.
Kemudian, tambahnya, Presiden Jokowi mengatakan ada kebutuhan lagi 700 ribu unit per tahun dari keluarga baru. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga baru tersebut, berarti total rumah yang perlu dibangun setiap tahun seharusnya 1,3 juta unit. Sedangkan yang dibangun sekarang berapa? Hanya 200 ribu sampai 220 ribu unit. Data itu, diketahui dari Bank Tabungan Negara (BTN), karena selama ini tetap BTN yang menjadi mayoritas untuk men-support KPR FLPP.
“Kalau hanya 200 ribu per tahun, berarti apa? Capaian itu tidak jauh beda dari capaian pembangunan rumah di zaman Pak Harto, sebelum beliau jatuh, yakni 190 ribu per tahun,” jelas Panangian.
“Berarti, pengelolaan itu tidak berjalan. Itulah. Ya, itulah faktanya. Jadi, kenapa harus 1,3 juta unit per tahun sekarang? Karena kalau tidak, maka tidak akan ada pengurangan backlog sejak pemerintahan Suharto sampai pemerintahan yang sekarang. Itu loh keprihatinan kita, karena tidak ada perkembangan,” tambahnya.
Pendanaan Rp101 Triliun
Sementara itu, Panangian mempertanyakan realisasi KPR hingga saat ini berapa? Hanya Rp 662 triliun, atau tiga persendari pertumbuhan domestik bruto (PDB). Biasanya, sebuah negara yang maju itu selalu dibandingkan rasio KPR terhadap PDB.
“Bandingkan dengan Malaysia berapa? 34 persen. Kalau sama Singapura, ya jangan dibandingkan, sangat jauh tertinggal, yakni 42 persen. Vietnam itu bahkan lebih tinggi dari kita. Kalau enggak salah ya (tapi coba cek ya), rasio KPR terhadap PDB-nya mungkin saja sudah di atas lima persenan,” ujarnya.
Untuk itu, Direktur Eksekutif di Panangian School Of Property inimencoba mengusulkan supaya pemerintah membangun 500 ribu RSH, 500 ribu rumah susun sederhana milik (Rusunami) dan tiga juta rumah di pedesaan.
Sedangkan untuk dana, menurut Panangian, subsidi 500 ribu unit landed house Rp50 triliun, subsidi 500 ribu unit Rusunami Rp36 triliun, dan subsidi tiga juta rumah desa Rp15 triliun. Total dana yang dibutuhkan Rp101 triliun per tahun.
“Salah satu cara yang paling simple adalah menambah jumlah subsidi perumahan. Subsidi kita sekarang, kan cuma Rp20 triliun. Bandingkan dengan subsidi pendidikan yang mencapai Rp570 triliun. Jadi, untuk perumahan tidak sampai tiga persen. Bandingkan dengan negara-negara yang sudah maju, atau yang dekat, bandingkan dengan Malaysia, yang anggaran perumahannya sudah mendekati 10 persen.Ya, idealnya sih, kalau bisa mendekati 10. Tapi kan, enggak mungkin. Paling tidak Rp40 sampai 50 triliun lah. Paling tidak, tiga kali lipat dari kondisi sekarang deh. Jadi, tetap dibutuhkan peningkatan anggaran dari APBN,” tuturnya.
Di sisi lain, Panangian juga melihat kegagalan pemerintah dan developer untuk membangun Rusunami. Kegagalannya terlihat ada pada pemerintah daerah. Sedangkan pengembang, sekarang tidak ada yang mau bangun, karena harga jualnya yang terlalu murah.
“Meski ada yang berhasil, seperti Kalibata City, Bassura, dan Green Pramuka. Tetapi, setelah itu pengembang tidak mau lagi disuruh bangun. Hal ini, karena pemerintah tidak peduli, tidak hadir, tidak mau tahu, tidak pernah mikirin, termasuk pemerintah daerah,” ujarnya.
“Rusunami ini juga gagal, karena banyak spekulan. Yang tinggal di Kalibata City misalnya, seharusnya bukan orang yang punya mobil tiga. Yang gagal siapa? Ini kegagalan pemerintah dong, karena dia tidak atur dan awasi dengan benar,” tambahnya. (As09)
Baca Juga : Pemerintah Didesak Bentuk Lagi Kementerian Perumahan