SIARDAILY, Jakarta— Masya Allah. Mudik lebaran 2022 kali ini sungguh bukan main! Hadist ikhwal pahala puasa ramadhan mendapatkan akses surga dari pintu Ar Royan, kudu diyakini orang beriman.
Merujuk survey, Balitbang Kemenhub memprediksi 85,5 juta pemudik tahun ini. Nyaris sepertiga dari 260 juta pemudik tahun baru Imlek di Cina 2022. Hampir 8 kali dari 11,2 juta penduduk Jakarta 2021. Jabodetabek menyumbang 14,3 juta pemudik, jelas juru bicara Kemenhub Adita Irawati kepada media.
Menyadari itu, Gubernur Provinsi DKI Jakarta Anies Baswedan menggelar aksi nyata. Mudik gratis bagi 11 ribu, 292 bus, bagi pemudik ke 17 kota dan 5 provinsi.
Untuk maksud apa? “Apresiasi pemerintah kepada warga yang berkontribusi kepada perekonomian Jakarta”, ujar Anies tatkala melepas bus mudik gratis di terminal Pulo Gebang.
Baca Juga: The HUD Istitute Sorot Tujuh Isu Strategis Perumahan
Selain itu? “Memfasilitasi moda transportasi yang resikonya lebih kecil”, lanjut Anies bertutur apik, yang juga menyiapkan truk pengangkut sepeda motor pemudik. Tentu saja gratis, tisss! Hak atas jiwa selamat sentosa dan tubuh sehat wal afiat adalah HAM universal.
Masih menurut tesis Anies, “Tujuan kita mereka bisa bahagia, karena slogan kita ‘maju kotanya bahagia warganya’, kita ingin mereka merasakan kebahagian pada saat pulang kampung”.
Kebijakan Mudik Gratis Anies itu tepat, setidaknya 3 (tiga) alasan:
Pertama, mudik adalah dalam relasi hak bebas bergerak dan berpindah dalam satu wilayah negara tanpa pengurangan atau hambatan yang dijamin Pasal 27 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Bahwa setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam dalam wilayah Republik Indonesia. Malah ajaran Islam menganjurkan pergi bersafar, mencari pelajaran.
Juga, Pasal 12 ayat (1) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (Sipol) bahwa setiap orang yang secara sah berada dalam wilayah suatu Negara, berhak atas kebebasan bergerak dan kebebasan untuk memilih tempat tinggalnya dalam wilayah tersebut.
Berdasarkan itu, mudik merupakan hak yang dijamin Undang-Undang. Juga, Kovenan Hak Sipol yang sudah diratifikasi, dan merupakan satu dari 10 instrumen HAM Internasional utama.
Kedua, hak bebas bergerak itu bagian dari hak pengembangan diri pribadi, yang juga terkait hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob) lainnya. Ingin mengaktualisasi hak memajukan diri, maka bebaskan warga bergerak mengembangkan potensi pribadi –sebagai manusia dan secara kolektif sebagai majelis pejuang kebaikan negeri.
Ketiga, selain karena alasan HAM –yang merupakan amanat, ciri dan ingredient konstitusi UUD 1945–, langkah Anies ini wujud nyata pada ‘PeTiSi’: Peduli, Empati dan apresiaSi. PeTiSi pamong kepada warga ala kepemimpinan melayani (Servant Leadership/SL).
Jurus pamong SL yang ngemong itu pertama kali dicetuskan Tuan Robert K. Greenleaf tahun 1970 yang kemudian menjadi buku berjudul sama: ‘Servant Leadership’ (1977).
Pemimpin Pelayan itu turun tangan langsung ngemong melayani warga. Bukan hanya turunkan tandatangan kebijakan belaka –yang kerapkali cuma berbasis otoritas/ wewenang sahaja. Tidak pakai marah-marah dan angkara murka kepada warga.
Layanan Publik bukan Cuan
Majelis Pembaca. Karena mudik adalah varian HAM, maka langkah Anies menjadikan layanan mudik gratis sebagai kebijakan publik –yang patut dirancang berkelanjutan dan konsisten– untuk melayani kebutuhan, keamanan dan kenyamanan warganya.
Perlu dicatat, kiranya jangan gegabah mencibirnya sebagai “curi start” atau mengharapkan pamrih politik. Justru segala lini dan warna warna pemerintah mustinya kompak serempak menyiapkan kebijakan publik melayani pemudik, termasuk BUMN perhubungan, misalnya.
Tidak etis jika tugas pelayanan publik mengambil cuan dari pemudik, dengan menaikkan tarif penerbangan yang menggila mahal dan menggelisahkan jamak kalangan. Tak hanya rakyat bahkan Gubernur sang penyambung lidah rakyat. Tak usah heran apalagi iri, dan malah patut diacungi dua jempol jika Gubernur Aceh Nova Iriansyah berani menyurati Presiden Joko Widodo
terkait harga tiket Jakarta-Aceh yang tembus Rp9,6 juta jelang mudik lebaran 2022.
Idemditto, pemudik yang menggunakan jasa penyeberangan antar pulau misalnya Merak-Bakauheni yang melonjak sampai 4 kali lipat, mustinya pemerintah giat memfasilitasi dan mengurangi tarif mudik skala “kolosal” tahun 2022 ini, yang arusnya sungguh bukan main. Antrean 10 jam diwartakan Kamis malam, 29 April 2022 lalu ada menyisakan cekcok ngegasnya pemudik ke sang petugas.
Diwartakan, PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) akan memberikan diskon tarif bagi pemudik yang menyeberang pelabuhan Merak di siang hari pada periode arus puncak mudik Lebaran 2022. Lha koq? Cemana pulak?!
Baca Juga: Begini Nasib Jakarta Setelah Ibu Kota Pindah ke IKN Nusantara
Otoritas ASDP mustinya memberi diskon pemudik, titik. Baik menyeberang saat jam malam, dan terlebih lagi menyeberang tatkala siang hari yang awal semula diberi diskon.
Patut dicatat presiden ini, pada periode mudik lebaran 2019, ASDP mematok tarif diskon 10 persen untuk pemudik kendaraan pribadi non-eksekutif.
Oiya, jangan pula membiarkan kenakalan oknum tak berwenang mengambil untung dengan pungutan paksa yang tak berdasar, misalnya untuk ruang lesehan bagus, dingin dan bersih untuk rehat di atas kapal ferry, seperti dialami sahabat saya ustadz Dr.Legisan S.Samtafsir tatkala menyeberang dengan kapal ferry dari Merak ke Bakauhuni menuju Medan, 29 April 2022. Saya haqqul yaqin ustadz Dr.Lagisan kredibel dan tak ada anasir bohong di bulan suci Ramadhan.
Bapak Menteri Perhubungan Yth., Oknum yang ambil cuan dan buruk kelakuan dalam layanan publik mudik di atas kapal ferry Merak-Bakauhuni yang memungut biaya diluar tarif resmi itu, apatah siang apalagi malam; harus ditindak. Lunas tanpa diskon! Pasti pak Menhub BKS keren.
Pak Menhub, publik patut bertanya, bukankah HAM atas bergerak bebas alias mudik itu tak etis jika dilayani hanya dengan memberi diskon menyeberang siang? Bukankah hak bergerak bebas itu tak patut mengalami rintangan, termasuk pungutan yang tak ada kausa halal secara hukum.
Sebelumnya diberitakan kabar gembira dari Menhub yang mengimbau pemudik yang ingin menyebrang di Pelabuhan Merak untuk berangkat di siang hari.
“Kami juga mengimbau bagi mereka yang akan berangkat dari Merak ke Bakauheni lakukan lebih awal dan gunakan waktu siang hari, karena ASDP akan berikan diskon,” ujar Menteri di Gedung Kemenhub, Jakarta, Senin (26/7/2022).
Namun, layanan mudik bukan soal tarif diskon siang pun malam hari saja. Terlebih lagi keamanan mudik adalah ranah layanan publik juncto kebijakan publik –yang tidak tidur malam. Jika hak atas aman dan nyaman mudik dari 85,5 juta warga itu sebagai bentuk PeTiSi atas hak bergerak bebas pemudik dalam skala kolosal, maka tarif diskon dan kerja, kerja, kerja untuk layanan prima menjadi beralasan Menteri turun tangan, walau sesekali boleh juga-lah rakyat dibahagiakan dengan diskon “kolosal” bahkan gratis tiss…, seperti beleids Bang Anies.
Majelis Pembaca yang berbahagia.
Terlaksananya Mudik Gratis Anis (sebut saja ‘MGA’) 2022 –dari Gubernur Provinsi Ibukota Negara Jakarta– beralasan dicatat sebagai konfirmasi dan pembuktian kepada 5 (lima) hal:
(1) Mudik bukan hanya pulang kampung namun bagian daripada ingredient HAM. Jangan dilupa, pemenuhan HAM adalah tanggungjawab negara terutama Pemerintah. Itu amanat Pasal 28I ayat (4) UUD 1945. Patut diambilalih sebagai postulat bahwa Ibukota Negara –sebagai entitas dan frasa yang eksplisit dibunyikan normanya dalam UUD 1945– adalah kota yang dibangun dan dikelola berbasis konstitusi dan HAM.
Juga, menjadi ibukota negara yang loyal melayani publik dan tabah mengikhtiarkan diri sebagai kota publik handal, bukan hanya sebagai status formal. Apalagi meleset jauh meniru ciri-ciri kota privat –yang bagaikan kedai, serba berbayar, menarik segala retribusi dan pajak kota, sehingga memicu indeks kemalahan ibukota negara tak terkontrol jadinya.
(2) MGA 2022 adalah wujud gaya Servant Leadership (SL), yang setidaknya bercirikan: Peduli, Empati dan Apresiasi kepada warganya. SL bukan hanya membangun kotanya, namun ngemong membahagiakan warganya.
Sebab itu, ibukota negara –pun demikian kota-kota publik– adalah pelayan publik, yang bukan hanya menyelenggarakan mandatory otorita ibukota negara belaka. Terlebih lagi diksi otorita tak dikenali dalam konstitusi UUD 1945.
(3) MGA 2022 menjadi alibi dan sebagian bukti bahwa ibukota negara itu ialah kota yang inklusif, dengan menerapkan pola kebijakan “udara” terbuka, membuka katup partisipasi aseli warga dan menggiatkan agenda wargakota yang baik: Good Citizenship –yang membahagiakan warga, tak hanya membangun biautifikasi kota. Pun, menjadikannya dari City for All kepada Happy City for All Citizen.Tak ada satu pun yang tertinggal.
(4) MGA 2022 menjadi bukti bahwa sang ibukota negara beralasan menyiapkan skenario menghadapi fakta sosio-kultural adanya kaum “komuter kolosal” yang terkonfirmasi dengan hasil survey 85,5 juta pemudik lebaran 2022. Pulau Jawa sudah mengkota menjadi Kota Jawa.
Sebab itu patut ibukota negara menyiapkan skenario migrasi dan pemberdayaan warga/ penduduk. Yang menghargai hak bergerak bebas, mencari nafkah, mengembangkan potensi insanuawi, namun melakukan tindakan affirmatif atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional –yang dijamin konstitusi Pasal 28I ayat 3 UUD 1945.
(5) Mudik 2022 skala “kolosal” itu bukan cuman arus balik deurbanisasi akibat pendemi, tekanan ekonomi urban dan tak mampu memiliki akses hunian yang hatganya mahal di kawasan urban. Potret pemudik itu, jangan pula anda salah duga adalah homeless.
Dapat dipastikan dari corak etnografisnya, arus mudik lewat jalan darat yang rela merayap di jalan tol berbayar, maka beralasan jika diasumsikan umumnya pemudik itu memiliki atau setidaknya menikmati “debu emas” (Gold Dust) kota, dan menempati hunian di kota tempatnya menetap. Tentu saja pemudik itu bukan pula Aparatur Sipil Negara (ASN) semua.
Baca Juga: DKI Jakarta Borong Lima Penghargaan Top Digital Awards 2021
Narasi itu membuktikan betapa perumahan dan kawasan permukiman sebagai tempat hunian, baik di kota maupun ibukota negara, adalah kebutuhan dasar yang konstitusional dan menjadi urusan konkuren pemerintah daerah khusus maupun pemerintahan kota. Bukan hanya perumahan dan kawasan permukiman untuk ASN saja, namun lebih benggala lagi, inklusif untuk masyarakat luas terutama masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Merujuk Pak Tjuk Kuswartojo, mantan dosen ITB dan penulis buku ‘Kaca Benggala’ (2018) dan ‘Utak Atik Tata Kelola Kota’, bahwa perumahan adalah mosaik utama pembentukan kota. Hal itu sekaligus mengonfirmasi betapa kuat alasan mengapa hak bertempat tinggal itu –vertical maupun landed house– sahih dirancang di ibukota negara lantaran hak konstitusional. Dan, membuktikan persenyawaan permanen antara portopolio perumahan dan pembangunan perkotaan (housing and Urban development).
Juga, menyetujui betapa pentingnya keberlanjutan kota dengan komunitasnya (Sustainability City and Community) dari Suistainable Development Goals (SDGs).
Tiba di paragraf akhir esai ini, patik hendak mendalilkan bahwa MGA 2022 sebagai kebijakan publik patut dilanjutkan dan dikembangkan. Dalil turunannya, bahwa lantaran efek berkah alias surplus devisa ‘Gold Dust’ yang mengalir dari komuter pemudik ke daerah asal/ tujuan, amat patut jika kebijakan MGA 2022 itu disambut hangat dan disambung-harmonikan daerah tujuan dengan kebijakan publik serupa. Ya… untuk melayani dan apresiasi kepada “pahlawan devisa” kaum migran pun warga ibukota negara Jakarta.
Saya percaya, dimana ada bergerak bebas warga perkotaan, pertanda bergeliatnya ekonomi urban. Jika tulus puasa ramadhan, pahalanya masuk surga dari pintu Ar Royan. Pintu hati siapa tak terbuka selebar urban, kepada tulusnya sang Pemimpin Pelayan? Brave to be Greatness Indonesia!
*Tahniah. Selamat bahagia mudik 2022. Tabik (Muhammad Joni, SH.MH., Advokat, Sekretaris Umum The Housing and Urban Development (HUD) Institute, Korsorsium Nasional Perumahan Rakyat, dan Jamaah Brave to be Greatness Indonesia, pendapat pribadi).