Jakarta, SIARD – Setakat menulis esai ini, saya jeda menonton film serial berlatar kerajaan Inggris: The Crown. Kisah sesama putri anak Raja George VI. Keduanya, tokoh Elisabeth dan Margaret yang tampil berwatak beda. Yang dengan cerdas dipadukan oleh sang Raja sebagai: “kebanggaan dan kegembiraan” (pride and joy).
Walau negara monarkhi konstitusional tapi memiliki tradisi konstitusi yang kokoh. Negeri yang mengajarkan Queen Elisabeth II pada fitur dasar konstitusi, walau masih relatif muda bertahta memimpin negara. Padanya diajarkan elemen esensial konstitusi: efisiens (efficient) dan martabat (dignified). Kedua kata itu berpengaruh hebat itu, yang dikutipnya dari Walter Bagehot (1867), sang penulis buku English Constitution. Kata-kata yang diucapkan Queen Elisabeth II ketika “memarahi” Perdana Menteri Winston Churcill. Karena Churcill tak memberitahu sakit flu (cold). Dia tidak muncul sesi audiensi langsung kenegaraan melapor kepada Queen setiap hari Selasa, pun hanya dalam sepekan dua saja.
Walau karakter dasarnya berbeda, tanah dan rumah/perumahan seperti sejoli yang tak terpisahkan. Kedua bendawi itu diikat dalam satu takdir “sosial-politik” yang sama, yakni berbakti bagi kesejahteraan rakyat. Itukah nalar hukum alam yang mempertautkan dan sekaligus membedakan antara tanah dengan perumahan?
Walau rumit meraciknya sebagai satu paket kebijakan sosial, bagaimana mungkin menyisihkan berdirinya perumahan dengan hamparan tanahnya? Namun, mengapa nasibnya berbeda? Hal ikhwal pertanahan dan perumahan berbeda dalam domein pengurusan dan pengelolaan? Problematika perumahan rakyat, salah satunya karena adanya gap antara domein pertanahan dengan perumahan rakyat. Hal lain, gap antara domein perumahan rakyat dengan domein ke-pemda-an.
Baca Juga: Anggaran Program 3 Juta Rumah Dipangkas, Menteri PKP Tempuh Langkah Ini
Walau dipertautkan dengan UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum –yang akhirnya diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja— namun ikhwal tanah untuk perumahan rakyat subsider perumahan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) masih sebatas aturan pengadaan tanah yang parsial saja. Belum sebagai kebijakan pertanahan nasional jangka panjang yang fokus dan permanen untuk pembangunan perumahan rakyat. UU Nomor 1 Tahun 2011 pun hanya mengatur persedian tanah, tidak menjangkau kebijakan nasional persediaan dan peruntukan tanah bagi perumahan MBR.
Ironi keterpisahan pertanahan dengan perumahan bisa ditelaah dari spirit lahirnya Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) yang disahkan tanggal 24 September 1960, masa yang masih dekat dengan suasana Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Proklamasi yang mendekonstruksi genggaman kolonialisme.
Bacalah UUPA. Periksa kata demi kata. Pelototi pasal demi pasal. Cermatilah bagian konsideran: Menimbang, Berpendapat, Memperhatikan, Mengingat. Pelajari pengaturan tentang hak-hak. Tak satu pun ada kata ‘rumah’ ataupun ‘perumahan’. Gawat, kan? Yang ada adalah kata bangunan. Yang dibunyikan sebagai jenis hak, yakni hak guna bangunan. Tidak ada hak guna perumahan. Seakan semua bangunan adalah perumahan. Bagaimana masa depan bisa mencerahkan “awan” perumahan Indonesia?
Meniru ulasan Tjuk Kuswartodjo dalam ‘Kaca Benggala’ dan ‘Utak Atik Kelola Kota’, perumahan adalah bagian utama mosaik pembentuk kota. Perumahan lebih spesifik dan memiliki basis konstitusional daripada bangunan, pun infrastruktur. Lebih otentik mana, hak guna bangunan atau hak guna perumahan? Walau tidak ada cantelan hak guna perumahan, namun UU Rumah Susun membuat konsep hukum yang melompat dengan pemberian hak milik atas satuan rumah susun. Pun demikian UU Cipta Kerja.
Nasib ‘perumahan’ berbeda dengan ‘pertanian’, ‘peternakan’, dan ‘perikanan’ yang dengan lugas dan limitatif disebutkan dalam berbagai pasal penting UUPA, misalnya pasal 14 ayat (1) yang mengatur mengenai rencana umum persediaan, peruntukan, dan penggunaan sumberdaya agraria. Bagimana dengan perumahan? Hemat saya, walau UUPA kental dengan vibes agraris namun beralasan kuat jika menormakan pentingnya perumahan rakyat dalam garis kebijakan nasional persediaan tanah.
Kalau rezim hukum UUPA memberikan hak guna usaha (HGU) terbatas hanya untuk ‘pertanian’, ‘peternakan’, dan ‘perikanan’, hemat saya perumahan rakyat beralasan dan konstitusional menjadi arah baru politik hukum persedian tanah nasional. Yang mengakar dari amanat konstitusi Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Mari melompat indah melampaui (beyond) UUPA. Malah, saya pernah mendalilkan HGU untuk perumahan dalam perkotaan.
Penting diulas bahwa Pasal 14 ayat (1) UUPA itu landasan bagi adanya kebijakan nasional pertanahan (national land policy). Walaupun kua-konsep hukum UUPA tidak hanya minimalis sebatas tanah, namun agraria: bumi, air dan ruang angkasa. Yang pasti, Pasal 14 ayat (1) UUPA sama sekali tidak eksplisit menormakan kepentingan perumahan rakyat, masih dilanda kekurangan rumah yang layak dan terjangkau. Kemiskinan perumahan rakyat masih kasat mata, berhampiran hanya bersebelahan tembok kompleks saja.
Majelis pembaca. Bisa jadi, UUPA yang mendahulukan tanah yang nyaris tak terpaut erat dengan perumahan itu memang memiliki latar motifasi yang sahih. Sehingga, rezim hukum tanah mengakui asas pemisahan horizontal yang dianut UUPA. Mendahulukan unifikasi pengaturan tanah dengan UUPA yang kemudian menghapuskan rezim hukum Agrarish Wet dan domein verklaring (negara pemilik tanah) digantikan dengan hak menguasai negara (HMN), adalah untuk membuldozer hukum tanah produk kolonial.
Jangan heran, jika UUPA menormakan secara lugas bahkan menjadi asas, bahwa hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angka subsider tanah adalah bersifat abadi, vide Pasal 1 ayat (3) UUPA. Artinya, hubungan yang tidak bisa diubah, apalagi diambil-alih dari bangsa Indonesia. Politik hukum UUPA adalah manifestasi kemerdekaan. Konkritisasi kedaulatan. Perwujudan kebanggaan (pride) pendiri bangsa Indonesia. Demi menegasikan isme penjajahan –dengan mengukuhan hubungan abadi bangsa Indonesia dengan tanahnya. Juga, pengakuan fungsi sosial tanah, (Pasal 6), kepemilikan dan penguasaan tanah melampaui batas tidak diperkenankan (Pasal 7), pemerintah mencegah usaha dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli swasta (Pasal 13 ayat 2).
Seakan obat ampuh bagi “penyakit” berat bernama kolonialisme yang mewabah ke Asia-Afrika pada abad lampau, politik hukum UUPA lugas mengutamakan kedaulatan atas tanah dengan mengusung HMN . Konsep hukum HMN diundangkan ke dalam UUPA untuk membatalkan domein verklaring. Untuk apa? Demi masyarakat adil dan makmur dan demi mengakhiri dualisme hukum agraria, seperti lugas dalam bunyi konsideran menimbang huruf a dan d UUPA.
Bagaimana dengan perumahan rakyat? Posisinya sebagai menggenapkan kedaulatan bangsa atas kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan perumahan rakyat menjadi sejoli bagi kedaulatan bangsa Indonesia atas tanahnya yang hubungannya bersifat abadi, dan selalu mesra –mustinya! Kalau UUPA mengenal fungsi sosial tanah, maka fungsi sosial-cum-politik itu pantas diwujudkan dengan kesejahteraan perumahan via garis asta cita pemenuhan kebutuhan dasar atas perumahan rakyat. Yang dikonkritkan dengan kebijakan nasional persedian tanah untuk program strategis nasional 3 juta perumahan rakyat, bukan sekadar pengadaan tanah yang parsial. Di tengah penantian terbitnya rencana induk badan bank tanah mematok prioritas pengelolaan tanah untuk alokasi tanah perumahan rakyat.
Di titik itulah, pembentukan bank tanah perlu dilakukan pemuliaan pada garis konsisten dan otentik konsep HMN. Itu vibes yang musti disadari bank tanah sebagai operator kebijakan persediaan tanah bagi perumahan rakyat, yang tak lain menjalankan sebagian tanggungjawab konstitusional negara. Tersebab itu, kebijakan yang menetapkan rencana persediaan tanah jangka panjang untuk perumahan rakyat musti terkoneksi dengan tugas bank tanah dalam perencanaan kegiatan jangka panjang 25 tahun –sebagaimana norma PP Bank Tanah.
Penting memastikan dan melugaskan pengembangan tanah –yang menjadi tugas bank tanah—eksplisit dalam PP Bank Tanah untuk perumahan rakyat guna mengatasi backlog perumahan yang masih tinggi, kawasan kumuh dan rumah tidak layak huni. Tentu saja peremajaan kota, di mana perumahan adalah bagian utama pembentuk mosaik kota. Kehadiran bank tanah yang menautkan pertanahan dengan perumahan rakyat, seperti menjodohkan kebanggaan bangsa pada kedaulatan atas tanah yang hubungannya bersifat abadi itu dengan kegembiraan (joy) segenap rakyat memperoleh kesejaheraan perumahan. Menautkan pertanahan dan perumahan sebagai sejoli yang pride and joy –adalah kerja mulia.
Tak berhenti pada norma, kebijakan persediaan tanah jangka panjang untuk perumahan rakyat dikonkritkan dengan mengalokasikan tanah. Saya pernah melakukan kirka sederhana berapa luas tanah yang dibutuhkan. Dengan asumsi 15 juta angka backlog, jika tiap tapak unit rumah dipatok 200 meter persegi, maka dibutuhkan 3.000 juta meter persegi yang sama dengan 300.000 hektar saja. Jika ditambahkan fasilitas PSU dengan rumus site plan 60:40, maka dibutuhkan hanya 420 ribu hektar tanah. Tidak terlalu besar, sebab hanya setara dengan luas HGU dari salah satu kelompok usaha saja. Hanya lebih sedikit dari seluas 400 ribu tanah untuk ibukota baru yang pernah diusulkan Gubernur Kalimantan Timur, Isran Noor.
Sahih kalau BPN dan badan bank tanah membuat kebijakan rencana induk yang mengalokasikan 500 ribu hektar untuk tanah perumahan rakyat. Ijinkan saya mendaulat itu tugas yang sepadan untuk badan bank tanah yang dibentuk dengan UU Cipta Kerja. Pun demi asta cita program tiga juta perumahan rakyat. Kalau bisa menyediakan tanah untuk ibukota baru, mengapa tidak untuk perumahan rakyat yang amanatkan konstitusi via program 3 juta rumah yang dikukuhkan menjadi program strategis nasional.
Sudah saatnya, langkah nyata mewujudkan pride and joy kesejahteraan perumahan rakyat dalam skala besar segera di-“omnibus law”-kan. Sesuatu yang efisien pun juga bermartabat. Pun, sesuai konstitusi Indonesia. Pejabat bidang perumahan dan kawasan permukiman jangan absen pada vibes kesejolian antara perumahan dan pertanahan. Tabik. (asp)
Penulis: Advokat Muhammad Joni, SH,MH., Ketua Umum Konsorsium Nasional Perumahan Rakyat (Kornas Pera), Sekjen Pengurus Pusat Ikatan Alumni Univesitas Sumatera Utara (IKA USU)
Baca Juga: