SIARDAILY, Jakarta – Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal atau BPJPH, kini bertanggung jawab terhadap sertifikasi halal terhadap produk makanan, minuman, obat, kosmetik, dan ragam produk yang digunakan masyarakat.
Hal tersebut, memicu polemik di publik. Sebab, selain perubahan logo halal, muncul tudingan menghilangkan peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam sertifikasi halal di Indonesia.
Baca juga: Jual Beli Tanah Virtual di Metaverse dari Kacamata Pakar TI UGM
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, A. Tholabi Kharlie menanggapi polemik mengenai perubahan logo halal yang dianggap tidak menunjukkan kata halal, sebagaimana logo halal sebelumnya, bahkan ada yang menganalisis dari aspek kaligrafinya.
“Logo halal yang baru menggunakan khat Kufi. Khat ini memang tidak ditujukan untuk kepentingan baca tulis, tetapi lebih pada kepentingan estetika. Karena itu, aspek keterbacaan atau kejelasan tulisan menjadi tidak dominan. Terlebih, ini digunakan untuk logo yang juga mempertimbangkan aspek kepantasan, keserasian, dan keindahan. Sedangkan logo halal yang lama, menggunakan jenis khat Naskhi. Khat yang fungsional tulis-baca,” tutur Tholabi, seperti dikutip dari keterangannya, Sabtu 19 Maret 2022.
Tholabi melanjutkan, dari sisi kaidah khat maupun kaidah imla’i, tidak ada yang keliru dalam penulisan logo tersebut. “Semua huruf tertulis lengkap, ada ha’-lam-alif-lam, tentu dalam bentuk atau model khat Kufi yang tidak rigid secara kaidah khat. Meskipun, tentu saja tidaklah sempurna untuk ukuran khat Kufi yang ideal”, ujar Tholabi, yang juga pernah memimpin Tim Penulis Alquran Mushaf Banten.
Menurut dia, respons publik terhadap logo halal yang baru menjadi tantangan, sekaligus kesempatan bagi BPJPH untuk semakin masif mensosialisasikan kepada masyarakat secara luas. “Reaksi publik ini harus ditangkap positif oleh BPJPH dan pemangku kepentingan, untuk semakin gencar menjelaskan kepada publik soal logo halal yang baru ini,” kata pakar syariah dan hukum ini.
Lebih dari itu, Tholabi menyebutkan, perpindahan kewenangan sertifikasi halal dari MUI ke BPJPH menjadi titik baru dalam menciptakan ekosistem halal di Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia.
“Perpindahan sertifkasi halal dari MUI ke negara melalui BPJPH ini, justru menjadi milestone bagi ekosistem industri halal di Indonesia. Secara teori dan praksis, industri halal akan semakin terkonsolidasi dengan baik yang ujungnya masyarakat dan pelaku industri semakin baik,” ujar Tholabi.
Adapun peran MUI, Tholabi yang juga anggota Komisi Fatwa MUI Pusat ini menyebutkan peran MUI tetap dipertahankan dalam urusan penetapan kehalalan sebuah produk. “Salah besar, jika membuat narasi bahwa MUI tidak lagi berperan dalam sertifikasi halal. Dalam Pasal 10 UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja disebutkan BPJPH dan MUI melakukan kerja sama dalam penetapan kehalalan produk,” tegas Tholabi.
Lebih lanjut, Tholabi menyebutkan dalam Pasal 33 UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ditegaskan tentang penetapan kehalalan produk dilakukan oleh MUI melalui sidang Fatwa Halal dengan paling lama selama tiga hari kerja. “Ini saya kira, kemajuan luar biasa, fatwa halal MUI dibunyikan dalam sebuah hukum negara yang mengikat semuanya,” tegas pengajar Hukum Tata Negara ini.
Ketua Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) se-Indonesia ini optimistis keberadaan BPJPH yang berpijak pada UU 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang disahkan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono serta UU No 10 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja akan mendorong industri halal akan besar di Indonesia. “Saya sangat optimis, ekosistem industri halal di Indonesia akan mengalami peningkatan yang signifikan. Mari seluruh pihak mengawal pelaksanaan aturan ini agar berjalan dengan baik,” tandas Tholabi. (as9)
Baca juga: Dr Ahmad Zain Najah Ditangkap Densus 88, Ini Sikap MUI