Diskusi media bertajuk ‘Perkuat Kelembagaan Perumahan Rakyat!’ yang diselenggarakan Forum Wartawan Perumahan Rakyat (Forwapera) di Jakarta, Kamis 20 Juli 2023. (FOTO: Istimewa)
SIARDAILY, Jakarta – Kehadiran kembali kementerian khusus yang fokus menanggani perumahan, menjadi suatu yang sedang ditunggu-tunggu masyarakat dan pemangku kepentingan (stakeholder) perumahan.
Untuk itu, Presiden Republik Indonesia (RI) yang terpilih atau pemerintah di 2024, didesak memberikan perhatian besar terhadap program penyediaan perumahan nasional.
Hal tersebut, mengemuka pada diskusi media bertajuk “Perkuat Kelembagaan Perumahan Rakyat!” yang diselenggarakan Forum Wartawan Perumahan Rakyat (Forwapera) di Jakarta, Kamis 20 Juli 2023.
Ketua Umum Aliansi Pengembang Perumahan Nasional (Appernas) Jaya, Andre Bangsawan mengatakan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUR) terlihat lemah dalam menjalankan fungsi di sektor perumahan rakyat.
Selain itu, kementerian yang merupakan gabungan dari Kementerian PU dan Kementerian Perumahan Rakyat itu juga kurang serius dalam mengurusi kurangnya pasokan (backlog) perumahan yang jumlahnya semakin melonjak.
“Kementerian PUPR terkesan kurang serius dalam menjalankan fungsinya di sektor perumahan. Badan dan lembaga yang dibentuk, pun ternyata tidak bekerja secara maksimal. BP3 (Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan) misalnya, saat ini seolah mati suri, tidak ada action sebagaimana tujuan pembentukannya,” ujar Andre.
Baca Juga: Penyediaan Rumah Rakyat Masih Hadapi Hambatan
Appernas Jaya, tegas Andre, mendukung penuh dibentuknya kembali kementerian khusus yang fokus mengurusi perumahan. Hal itu, untuk membantu masyarakat untuk memiliki rumah layak huni dan mendorong penyediaan rumah oleh pengembang lewat regulasi yang efektif.
Sekretaris Jenderal Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) Hari Ganie mengungkapkan, selama ini pengembang masih menghadapi banyak persoalan di lapangan. Tidak hanya pengembang perumahan menengah bawah, tetapi juga pengembang properti komersial. Terlebih, masalah perizinan yang sampai hari ini koordinasinya tidak berjalan dengan baik, meski pemerintah telah menerbitkan Undang-undang Cipta Kerja (UUCK).
“Sejauh ini, kami masih melihat adanya koordinasi yang kurang baik terkait urusan di sektor properti. Terutama, perumahan baik dari sisi perizinan, pembiayaan, perpajakan dan lain-lain. Karena itu, memang dibutuhkan satu kelembagaan yang kuat dan fokus,” tegasnya.
Menurut dia, beban kerja yang ditanggung Kementerian PUPR selama ini sudah terlalu berat. Sebab, hampir semua Program Strategis Nasional (PSN) yang berkaitan dengan pekerjaan fisik ditugaskan kepada kementerian tersebut. Sementara, urusan perumahan rakyat terabaikan. Padahal, sesuai namanya, Kementerian PUPR seharusnya juga memberikan perhatian yang berimbang untuk sektor perumahan rakyat.
Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah menambahkan, kementerian fokus perumahan itu mutlak, karena sektor perumahan berbeda dengan infrastruktur. Kedua hal tersebut, tidak dapat disandingkan begitu saja, karena masalah perumahan tidak melulu urusan fisik semata.
“Beragam aturan pemerintah, justru selama ini terbukti mempersulit sektor perumahan. Padahal, semua hal berawal dari rumah, tetapi belum terlihat adanya calon pemimpin bangsa yang mengusung isu-isu perumahan,” tegasnya.
Junaidi menambahkan, saat ini, Indonesia masih menghadapi ‘hantu’ backlog perumahan (kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan) yang angkanya diperkirakan sudah lebih dari 13 juta unit. Tapi nyatanya, pemerintah dalam satu dekade ini terkesan tidak fokus mengatasi persoalan backlog tersebut.
“Masalah justru timbul, dan seperti diciptakan. Aturan regulasinya sering berubah-ubah dan perizinan di tiap daerah berbeda-beda. Masyarakat yang ingin memiliki rumah, syaratnya juga dipersulit,” ujar Junaidi.
Ketua Umum Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) Endang Kawidjaja juga menyatakan, dukungan asosiasinya terhadap upaya penguatan kelembagaan perumahan. Diakuinya, memang ada beberapa isu perumahan rakyat yang harus dituntaskan pemerintah. Di antaranya, soal pertanahan dan perizinan.
“Selama ini, banyak peraturan perizinan dan pertanahan yang dulu sebetulnya sudah kuat, tetapi sekarang justru menjadi lemah. Karena itu, perlu diperkuat kembali,” tegasnya.
Endang menyoroti dampak dari UUCK yang menghilangkan jejak panjang lex specialis perizinan rumah subsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Hal tersebut, menyebabkan urusan perizinan dan pertanahan pengembang rumah subsidi semakin sulit. Dalam hal pembiayaan, saat ini program Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) dihapus untuk rumah bersubsidi, tetapi justru dilanjutkan untuk rumah komersial (non-subsidi).
“Ini ibarat ada peluru, tetapi tidak ada sasarannya. Atau, ada sasaran, namun peluru tidak ada. Ya, akhirnya jalan di tempat,” ujarnya.
Pengamat Properti Nasional, Panangian Simanungkalit juga berpendapat, harus ada lembaga kementerian yang fokus untuk menyelesaikan backlog. Sejak Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) dilebur ke Kementerian PUPR di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), ia melihat pemerintah tidak fokus mengurusi penyediaan rumah rakyat.
“Satu dekade ini di bawah PUPR, tidak ada yang fokus. Pemerintah malah membuat peraturan-peraturan yang tidak pernah mereka ketahui sama sekali. Apa yang dikerjakan pemerintah di sektor perumahan rakyat itu kosong dan terlihat mereka bukan pelayan masyarakat. Ini kayak mental penjajah,” tegas Panangian.
Dia mengaku dapat merasakan kekecewaan besar yang dirasakan asosiasi pengembang yang selama ini sudah bekerja membantu pemerintah dalam menyediakan perumahan untuk masyarakat. Saat ini, ada sekitar 13 ribu perusahaan properti yang masing-masing mempekerjakan sekitar 30 hingga 1.000 orang pekerja.
“Tetapi, pengembang ini justru tidak diberi tempat yang layak oleh pemerintah. Mereka hanya diberikan seorang selevel dirjen (direktur jenderal) yang tidak powerfull untuk mengurusi perumahan dan properti. Ini langkah mundur dari yang sudah pernah dilakukan dan dicapai pada zaman pemerintahan Presiden Soeharto dulu,” ungkap Panangian.
Langkah Presiden Jokowi yang selama dua periode menggabungkan Kemenpera dengan Kementerian PU, lanjut Panangian, berarti tidak menganggap dan menghargai kontribusi industri perumahan bagi negara ini. Yang lebih parah, sekitar 13 ribu pengusaha properti itu seperti kehilangan induk.
“Banyak sekali isu (perumahan) yang orang pemerintah sendiri tidak mengerti. Jadilah mereka mental penjajah, bukan mental pelayan. Inilah persoalan birokrasi di Indonesia. Kalau dibilang revolusi mental tidak berhasil, itu betul sekali,” ujarnya. (as09)
Baca Juga: