Penyediaan Rumah Rakyat Masih Hadapi Hambatan

SIARDAILY, Jakarta – Cita-cita pemerintah dalam menyediakan rumah yang layak dan murah bagi rakyatnya, masih jauh dari harapan. Sebab, gap antara ketersediaan dan kebutuhan (backlog) perumahan masih tinggi.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, terjadi backlog sebesar 12 juta dan menurut data pengamat, mencapai 17,6 juta. Sedangkan berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2020, angka backlog kepemilikan perumahan mencapai 12,75 juta. Jumlah itu, belum termasuk penambahan keluarga baru yang diperkirakan mencapai 800 ribu unit per tahun.

Menurut Wakil Ketua Komisi V DPR-RI, Ridwan Bae, pemerintah memiliki pekerjaan rumah (PR) yang besar untuk dapat mengatasi tingginya gap tersebut. Untuk itu, masalah backlog tidak akan dapat diselesaikan dengan kebijakan yang biasa-biasa saja.

“Kami kira, perlu terobosan kebijakan yang lebih menyeluruh dan aplikatif dari pemerintah, sehingga dapat diterapkan di lapangan untuk tetap menjaga pasokan rumah dan juga keterjangkauan masyarakat dalam memiliki rumah layak huni,” ujarnya kepada wartawan, Selasa 20 September 2022.

Baca juga: Basuki: Hapernas Jadi Momentum Tingkatkan Kolaborasi Pembangunan Perumahan Untuk Masyarakat

Jika tidak segera diatasi dengan cara yang benar, lanjut legislator dari Partai Golkar itu, angka backlog logikanya akan terus membengkak.

Untuk itu, dia mendorong pemerintah tetap mengedepankan komunikasi yang baik dengan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) perumahan, baik kalangan perbankan, pengembang swasta, Perumnas, dan media massa untuk mencari solusi terhadap berbagai kendala penyediaan rumah rakyat di lapangan, sehingga masalah backlog dapat teratasi optimal.

Ridwan menyebutkan, ia menerima banyak laporan bahwa saat ini pasokan rumah, termasuk untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) terkendala akibat adanya beberapa hambatan perizinan seperti aturan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) sebagai pengganti Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan penetapan Lahan Sawah Dilindung (LSD).

“Pemerintah perlu berkomitmen untuk memastikan program pembangunan rumah bersubsidi ini berjalan dengan baik. Berbagai hambatan yang ada baik, dari sisi suplai maupun sisi permintaan jangan dibiarkan saja, tetapi segera diselesaikan. Harus diingat bahwa memiliki rumah layak adalah hak asasi setiap warga negara,” tegasnya.

Diskusi Forwapera bertajuk “Jalan Terjal Penyediaan Perumahan di Indonesia” (sumber: Siardaily)

Selesaikan Hambatan

Ketua Umum Konsorsium Nasional Perumahan Rakyat (Kornas-Pera) Muhammad Joni juga mengaku sangat penting pemerintah untuk segera menyelesaikan hambatan dan jalan terjal yang masih terjadi dalam penyediaan rumah, khususnya untuk MBR.

Berbagai kendala yang masih terjadi, lanjut pengamat hukum properti ini, seperti PBG, LSD, kuota ,dan harga rumah subsidi bisa terjadi, karena kebijakan yang tidak sinkron. Dia meminta, ada target waktu untuk penyelesaian hambatan dalam penyediaan perumahan tersebut.

“Segera bereskan, terutama PBG dan LSD ini. Kita akan terus monitor. Jangan ada hambatan dalam penyediaan perumahan, karena perumahan ini tanggung jawab pemerintah. Justru, kita melihat pemerintah kerap kali ugal-ugalan dalam membuat kebijakan perumahan. Khusus persoalan LSD, harus diselesaikan tanpa merugikan, apalagi merenggut hak-hak orang lain, mengingat ada 175 surat complain terkait verifikasi lapangan LSD,” kata Joni pada Diskusi Forwapera bertajuk ‘Jalan Terjal Penyediaan Perumahan di Indonesia’ di Jakarta, Selasa (20/9).

Dia menegaskan, jika pemerintah ingin mengamankan ketahanan pangan, seharusnya pemerintah lebih mengencarkan reforma agraria atau resdistribusi tanah untuk petani sesuai prinsip Land to the Tiller., daripada justru mengeluarkan beleid LSD dengan verifikasi faktual an sich.

Kemudian, Joni juga mengkritik teknis verifikasi lapangan sepihak oleh pemerintah pusat, yang seharusnya melibatkan publik, misalnya untuk program perumahan rakyat ada asosiasi pengembang atau LSM/NGO yang dapat dilibatkan, sehingga verifikasi tidak keliru atau merugikan hak konstitusi orang lain.

Baca juga: Program Sejuta Rumah Capai 466.011 Unit di Semester I 2022

Menurut Joni, Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, menjamin hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.

“Keputusan penerapan hasil verifikasi LSD juga tidak bisa begitu saja meniadakan atau mengabaikan Perda RTRW/RDTR yang merupakan produk hukum sah dari prosedur legislasi eksekutif dan legislatif daerah,” ujarnya.

Sedangkan untuk mencegah kontraproduktif LSD dengan program perumahan rakyat, Joni mendesak pemerintah fokus pada pembentukan Bank Tanah yang merupakan amanah Undang-undang Cipta Kerja (UUCK), daripada membingungkan masyarakat dengan aturan seperti LSD tersebut.

Jauh dari Harapan

Sementara itu, pengamat perumahan, Anton Sitorus menekankan bahwa masalah perumahan adalah hal fundamental dan kebutuhan asasi manusia. Namun, apa yang pemerintah lakukan selama ini dalam penyediaan perumahan masih jauh dari harapan. Begitu banyak masalah klasik yang terus muncul, terutama dalam hal perizinan seperti PBG dan LSD.

Diskusi Forwapera bertajuk “Jalan Terjal Penyediaan Perumahan di Indonesia” (sumber: Siardaily)

“Kita di sektor perumahan ini terus diselimuti masalah-masalah yang terus berulang, terutama dalam hal perizinan. Hanya namanya saja yang berbeda. Seperti PBG dan LSD ini adalah soal klasik dalam versi terbaru. Ini suatu hambatan yang mungkin memang sengaja dibuat untuk mempersulit saja,” ujar Anton dalam diskusi yang sama.

Dia menduga, terbitnya aturan seperti PBG dan LSD terjadi akibat pemerintah tidak memiliki sumber daya manusia (SDM) yang mengerti tentang perumahan dengan baik. Akibatnya, kebijakan yang dikeluarkan ngaco dan kerap berubah-ubah.

Menurut Anton, penyediaan perumahan bagi masyarakat luas di Indonesia perlu dilakukan melalui program yang serius dan ambisius, terutama oleh negara. Untuk itu, tidak bisa dikerjakan dalam lembaga yang memiliki fokus ganda.

Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI), Paulus Totok Lusida yang dihubungi mengatakan, PBG memang perlu segera dicarikan solusinya. Sebab, saat ini ada keengganan pemerintah daerah (Pemda) untuk menerbitkan PBG. Hal itu disebabkan aturan PBG ini diatur UU yakni UUCK, yang memerintahkan Pemda mengeluarkan PBG lewat peraturan daerah (Perda).

“Nah, Pemda tetap tidak berani mengeluarkan PBG hanya dengan Retribusi IMB saja, jadi tetap alasannya tunggu Perda-nya. Butuh intervensi kuat dari pemerintah pusat dan Komisi V DPR RI untuk menuntaskan kendala perizinan yang sudah setahun ini terjadi,” tegasnya.

Di sisi lain, tambah Totok, ada beberapa daerah yang tetap berani mengeluarkan IMB karena merujuk putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa dua tahun sampai dengan perbaikan UUCK dilakukan, Pemda bisa memakai aturan lama yakni IMB. Tetapi masalahnya, IMB tidak bisa masuk dalam data Sikumbang (Sistem Informasi Kumpulan Pengembang) sebagai syarat realisasi rumah bersusidi.

“Yang diminta (data Sikumbang) tetap PBG. Semua kerancuan dan kebingungan ini sampai kapan? Birokrasi ini mau menghambat atau bagaimana? UUCK itu dibuat untuk tujuan mempermudah, bukan justru mempersulit. Kami menilai, perlu ada revolusi dalam perizinan di Indonesia, biar kejadian seperti ini tidak ada lagi,” ujar Totok.

Terkait masalah LSD, dia mengeluhkan banyaknya kasus perumahan atau pergudangan yang sudah dibangun, tetapi tiba-tiba sekarang ditetapkan sebagai LSD. Akibatnya, pembangunan dan pasokan rumah menjadi terhambat. Padahal, sebagian besar pengembang membangun dengan memakai uang bank, di mana ada cost of fund, termasuk bunga yang harus tetap dibayar. Totok menyebutkan, sebagian besar pengembang rumah bersubsidi adalah UMKM yang perlu dibantu dan didukung.

Wakil Ketua Umum DPP Apersi, Mohammad Solikin juga berpendapat, hingga saat ini hanya beberapa daerah saja yang sudah menerbitkan PBG. Kondisi ini, tentunya mempersulit pengembang dalam memastikan pasokan rumah bersubsidi.

“Demikian pula terkait LSD, aturan ini dikeluarkan serampangan sekali. Perumahan yang sudah ada izin dan sertifikat induknya, kok tiba-tiba jadi LSD. Padahal, kontribusi pajak developer itu tidak sedikit untuk negara. Jadi, mohon kami juga diperhatikan,” kata Solikin.

Ke depan, dia mendorong pentingnya urusan perumahan diurus oleh kementerian sendiri. Hal itu penting untuk membantu mengsinkronkan aturan yang akan diterapkan. Pengalaman selama ini, butuh bertemu beberapa lembaga negara dulu untuk bisa mengsingkronkan satu aturan saja. Itu pun tidak ada jaminan masalah tuntas. (as9)

Baca juga: Kementerian PUPR Sosialisasikan Peraturan Baru Bidang Perumahan

Diskusi Forwapera bertajuk “Jalan Terjal Penyediaan Perumahan di Indonesia” (sumber: Forwapera)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Share via
Copy link