Penampakan Rumah Bersubsidi. (FOTO: Kementerian PKP)

Rumah 18 Meter Persegi, Layakkah Dihuni?

Jakarta, SIARD – Pemerintah melalui Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) menyatakan rencana pengadaan rumah bersubsidi minimalis dengan luas bangunan minimal 18 meter persegi (m2) dan luas tanah 25 m2 tidak menyalahi aturan.

Direktur Jenderal Perumahan Perkotaan Kementerian PKP, Sri Haryati mengatakan, ukuran rumah subsidi dengan luas bangunan 18 m2 masih masuk ke dalam kriteria Standar Nasional Indonesia (SNI), apabila dihuni masyarakat yang belum menikah dan maksimal memiliki satu anak.

“Di dalam SNI itu juga jelas untuk dewasa (minimal) itu 6,4 m2 sampai dengan sembilan meter persegi (per jiwa). Kalau untuk anak-anak itu 4,6 meter persegi (per jiwa),” ujarnya dalam keterangan resminya, Selasa 17 Juni 2025.

Baca Juga: Pengembang Tak Happy dengan ‘Kebijakan’ Kementerian dalam Bangun Rumah Bersubsidi

Lalu, bagaimana dengan pendapat pengamat properti dan Sekretaris Majelis Pakar The HUD Institute Muhammad Joni, SH.MH?

Ketahuilah tuan dan puan, rumah bukan sekadar tempat berteduh. Ia adalah ruang bagi sang hidup. Juga, ruang sosial untuk bertumbuh, dan ruang bermartabat untuk maslahat. Namun di banyak kota Indonesia, masih menjumpai rumah-rumah yang terpaksa sempit—seluas hanya 18 meter persegi, yang dihuni bersama lebih dari dua orang. Bahkan lebih satu keluarga.

Pertanyaannya sederhana tapi citarasanya fundamental: layakkah rumah seperti ini dihuni di negeri bertuah bertitel ratna mutu manikam dan gemahripah loh jinawi?

Jawabannya mengacu standar kesehatan dan spasial, alahai rumah 18 m² langsung tidak memenuhi kriteria Permenkes No. 1077 Tahun 2011, bahwa: rumah sehat harus memiliki lantai kedap air, sirkulasi udara, cahaya alami, dan sanitasi yang baik.

Dari sisi spasial, rumah 18 m²—biasanya hanya 3 x 6 meter—tidak memadai untuk fungsi dasar hunian: tidur, masak, mandi, dan aktivitas keluarga, walau bisa bernafas. Tidak ada zona privat, tidak ada ruang servis, dan tidak ada sirkulasi .Alhasil kegiatan privat meluber ke ruang publik, jalanan, taman, bisa juga pos keamanan perumahan.

Standar Nasional Indonesia (SNI 03-1733-2004) dan Permen PUPR No. 10 Tahun 2019 menetapkan luas minimum hunian adalah 36 m² untuk satu keluarga. Maka rumah 18 m² auto tidak memenuhi standar minimum itu.

Jika bertanya pada instrumen nasional dan internasional bahwa ukuran kelayakan yang berlaku global, maka wajar merujuk instrumen nasional UU No. 1 Tahun 2011 bahwa rumah adalah hak dasar warga untuk hidup sejahtera.

Permenkes & Permen PUPR menyatakan kelayakan harus mencakup kesehatan, keselamatan, dan kenyamanan.

SNI: Standar teknis tentang minimum ruang per orang dan keluarga.

Merujuk instrumen internasional versi UN-Habitat, lugas bahwa rumah layak = aman, terjangkau, layak secara fisik, punya infrastruktur dasar, dan berada di lokasi layak huni.

Versi SDGs Tujuan 11.1: bahwa akses semua warga ke perumahan layak dan terjangkau pada tahun 2030.

Hal senada dari ICESCR Pasal 11 yang menjamin hak setiap orang atas standar hidup yang layak, termasuk tempat tinggal yang memadai.

Sebab iku, rumah berukuran 18 m² yang pas seluas lahan tanahnya, tidak layak huni dan melanggar hampir semua prinsip hunian layak baik nasional maupun internasional.

Kemiskinan Spasial: Bukan Soal Uang, Tapi Akses Ruang

Dalam pandangan Zulfi Syarif Koto, tokoh perumahan rakyat yang Ketua Umum The HUD Institute bahwa ruang dan perumahan rakyat, kemiskinan bukan hanya karena tidak punya uang, tapi karena tidak diberi akses ruang kota yang layak. Tak berlebihan blak-blak an menyebut ini sebagai kemiskinan spasial.

Aduhmak, kemiskinan spasial terjadi karena warga miskin hanya diberi sisa ruang kota yang tersisa — sempit, kumuh, tanpa infrastruktur, dan tanpa jaminan hukum.

Rumah 18 m² tanpa air bersih, adalah bentuk nyata dari pemiskinan spasial yang sistematis dan diluar visi mengentaskan kemiskinan hunian.

Jangan sisihkan keadilan ruang adalah pangkal dari keadilan sosial. Kalau kita salah merancang kota, kita sedang memiskinkan rakyat secara sistematis.

Perbandingan Global: Malaysia, Hong Kong, Swedia

Kabar dari Malaysia

Dengan Program PR1MA menetapkan standar rumah subsidi minimal sekitar 79 m², dengan fungsi ruang terpisah dan sanitasi layak.

Sebagai info, program Malaysia bertitel PRIMA, atau Perumahan Rakyat 1Malaysia (PR1MA), adalah program perumahan yang bertujuan menyediakan rumah terjangkau bagi warga Malaysia berpenghasilan menengah. Program ini dikelola oleh PR1MA Corporation Malaysia, sebuah badan yang bertanggung jawab merencanakan, mengembangkan, dan membangun perumahan berkualitas di lokasi strategis. Bagaimana kita?

Dari Hong Kong, yang spasialnya padat, pemerintah menyediakan Public Rental Housing minimal 13 m² per orang. Fasilitas modern dan sanitasi sehat adalah keharusan.

Kabar dari Swedia

Lugas menganut pendekatan “Housing First”, karena itu negara menjamin setiap orang tempat tinggal yang sehat dan manusiawi, bukan sekadar ruang berteduh.

Di negara-negara tersebut, rumah berukuran 18 m² tidak akan diakui sebagai hunian yang layak.

Lantas apa rekomendasi kebijakan? Ayo inovasi kebijakan yang melampaui kriteria “layak administratif” dari ide industrialisasi rumah mini menuju kepada “layak bermartabat” yang membuar rakyat nguyu, senyum. Tegakkan standar rumah layak tidak hanya sebagai statistik angka, tapi sebagai ukuran kualitas hidup yang membuat rakyat nguyu.

Tolak rumah ekstrem mikro yang tidak menjamin kesehatan dan terlebih rawan privasi.

Bangun rumah vertikal terjangkau skala besar di perkotaan dengan metode transit oriented development (TOD), dengan intervensi efektif lahan, inovasi pembiayaan, dan subsidi produktif negara, bisa jadi solusi. Mengapa tidak disegerakan, Tuan Menteri?

Adopsi prinsip hak atas perumahan dalam kerangka hukum, bukan hanya program sosial bergaya karakatif namun menjadi ajek dengan sistem nasional perumahan rakyat.

Lawan kemiskinan spasial dengan keadilan tata ruang dan partisipasi warga dalam perencanaan kota, mengapa tidak dicoba?

Epilog:

Rumah Adalah pemenuhan Hak, bukan program dn kebijakan sisa. Rumah 18 meter persegi bukan sekadar masalah optimalisasi lahan dan akrobatik arsitektur cilik. Ia adalah cermin besar dari ketimpangan ruang, kegagalan kebijakan, dan kemiskinan yang dilembagakan.

Rumah bukan soal “cukup ada saja”, tapi soal “cukup hidup layak”. Kita butuh rumah yang membebaskan manusia, bukan yang menjebaknya dalam kemiskinan spasial. Tabik. (asp)

Baca Juga: Pertanahan dan Perumahan Bagai Sejoli untuk Tiga Juta Rumah Rakyat

Berita Lainnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Share via
Copy link