Pemprov DKI Jakarta mengusung tema 'Jakarta Kota Global dan Berbudaya'. (FOTO: Telkomuniversity)

Jakarta: Satu Kota, Banyak Wajah

Jakarta, SIARD – Minggu, 22 Juni 2025, Jakarta merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-498. Pada perayaan HUT Jakarta tahun ini, Pemprov DKI Jakarta mengusung tema “Jakarta Kota Global dan Berbudaya”, yang mencerminkan semangat kota untuk terus berkembang dan bertransformasi, meski tidak lagi menyandang status ibu kota.

Perkembangan dan tranformasi Kota Jakarta tersebut, juga dicermati oleh Muhammad Joni,
Sekretaris Majelis Pakar The Housing and Urban Development (HUD) Institute.

“Kota ini kayak punya dua langit, Bang… Satu langit buat orang gedongan, satu lagi buat kite orang kampung.” Begitu kata-kata hari ini dari Bang Lahmudin, dalam dialeg Betawi kendal kali. Dia warga asli Slipi, yang saat saya mencakapinya di ujung gang senggol dekat realestat mewah kawasan Senayan yang berpagar besi tinggi, yang hari ke hari jadi jadi lokus “kantor”-nya narik ojek.

Baca Juga: Jakarta, Kota Global Berbasis Sejarah, Budaya, dan Inovasi

Hari ini Jakarta Ulang Tahun ke-498. Usia yang nyaris separo abad itu tentu banyak datang, dan dagang, kiprah dan sejarah, warga dan bangsa dan tentu ada adat dan hukumnya. Pulau-pulau moleknya juga “seribu”, jangan dipindahkan, bang!

Apa kata-kata hari ini versi Pak Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung?

“..saya dan Bang Doel akan melanjutkan membangun Jakarta dengan mempartisipatif dari masyarakat apa yang menjadi keinginan, kemauan, dan persoalan yang ada di masyarakat,” kata Pramono saat ditemui seusai upacara, Minggu 22 Juni 2025.

Bang Pram dan Bang Doel, pasti paham soalan ini. Jakarta hari ini tak hanya tumbuh dan tinggi, tapi “terpecah” —baik dalam rupa, ritme, maupun relasi sosial ekonomi antarwarganya, anak rantau “pejuang” urban maupun komuter tetapnya.

Dalam radius seratus meter, Anda bisa melihat kontradiksi telanjang: di satu sisi mal mengilap dan jalur sepeda licin, di sisi lain jalan kampung becek dan atap seng bocor. Ada apartemen megah dengan lift berlapis kaca, tapi juga rumah petak bertingkat tiga yang berdiri di atas parit.

Dua Sistem dalam Satu Kota?

Jakarta, kata banyak pakar tata ruang, kini hidup dalam dua bahkan lebih sistem yang tak saling sapa dan enggan bersentuhan.

Bukan hanya karena jurang kaya dan miskin, tapi juga karena ekosistem ekonomi, ruang spasial dan sosial yang seakan berjalan sendiri-sendiri.

Fakta empiris kala pas jamnya ambil rehat siang, karyawan dan pegawai kantoran bekerja di menara pencakar langit nan wangi, usah heran makan siang di warung tenda bawah pohon dan agak berkeringat, pulangnya naik ojek online sambil membungkus gorengan dari tukang kaki lima.

Kota Jakarta kita ramai padat musim bulan-bulan kerja, pan jalanan sepi tatkala musim mudik bulan lebaran. Jakarta yang didamba tapi menjadi kota yang tumbuh secara tak utuh secara ekosistem urban: antara ekonomi formal dan informal, antara gedung tinggi dan gang sempit, antara pengembang besar dan warga kecil yang bertahan di kampung-kampung warisan generasi Sabeni dan kawan-kawan Doel yang diberdayakan jangan ditinggallan.

Inilah yang hendak disambungkan Sustainable Development Goals (SDG’s): tak ada satu pun yang tertinggal (no one be left). Tapi kapan itu terjadi pak SDG’s? Kata-kata mewahnya kita berhak atas kota. Kota untuk semua (city for all).

Kontras Mencolok: Antara Gentrifikasi dan Keberlanjutan

Ironi kota terlihat jelas saat bangunan komersial naik menjulang, namun kampung-kampung rakyat digusur demi proyek real estat. Dalam wajah “modernisasi”, warga asli justru kehilangan pijakan.

“Kampung kite di pinggir kota ilang satu-satu. Diganti taman yang enggak bisa kite dudukin,” keluh Mpok Lela dengan medok Betawi yang keluarganya tinggal di Pasar Rumput sejak 1974.

Namun tak semua suram, jamak yang mengkilap skala Asia. Kampung Akuarium adalah bukti bahwa penataan kota bisa adil dan berkelanjutan. Ia bukan hanya dibangun ulang, tapi juga diperjuangkan bersama warganya, dan kini menjadi ikon konsolidasi vertikal berbasis komunitas. Dan menjadi contoh sukses inovasi perumahan rakya yang dapat inovation award (2023). Juga dinilai reforma agraria perkotaan prolingkungan.

Sementara itu, sontak muncul entah solusi entah opisi yang polemis dan kontroversial: rumah tapak tipe 18 meter persegi (m²) di lahan 25 m² untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

Pertanyaannya: apakah ini opsi, solusi atau sekadar geliat pencapaian target statistik? Karena rumah layak bukan hanya tentang luas, tapi tentang harga diri dan ruang bertumbuh. Apalagi rumah mini 18m2 bukan Rumah Inti Tumbuh digagas setakat Menpera Cosmas Batubara.

Solusi: Integrasi Ekosistem Kota yang Memberdayakan

Untuk mengatasi wajah kota yang terbelah, dibutuhkan integrasi menyeluruh. Bukan hanya biautifikasi fisik, fisik, dan fisik, akan tetapi juga sosial dan ekonomi, serta budaya.

Ekosistem Perumahan Rakyat yang Terpau

Pemerintah perlu mendorong sinergi antara pengembang, BUMN, dan komunitas agar program rumah rakyat tidak tercerai-berai oleh kepentingan pasar.

Revitalisasi Kampung dan Ruang Sosial

Kampung-kampung urban harus dilihat sebagai bagian dari sejarah dan jati diri kota, bukan beban.

Formal-Informal Tak Lagi Ditingkat Terpisah

Pedagang kaki lima, ojol, tukang bangunan, harus masuk dalam sistem kebijakan: dalam rencana tata kota, dalam penyusunan APBD, dan bahkan dalam forum pengambilan keputusan kota. Transit Oriented (TOD) yang dibangun untuk Jakarta jangan menyingkirkan sektor informal, kudu menyerap mereka iso gawe-bekerja dalam ekosistem TOD pun New Urban Agenda.

Epilog: Jakarta, Mari Salaman dengan Semua Wargamu

Di ulang tahunnya yang ke 498, Jakarta dihadapkan pada pilihan sejarah: mau jadi kota global yang tercerabut dari rakyatnya, atau kota beradab yang memajukan semuanya.

“Gue enggak minta banyak, Bang… asal kampung kite jangan ilang. Biar anak gue bisa tau asalnya,” kata Bang Lahmudin, menutup obrolan kami malam itu.

Peduli kepada rasa Bang Lahmuddin, The HUD Institute menyukapi Jakarta, nyang ini begini:

“Jakarta sebagai kota global harus menjamin keadilan spasial bagi seluruh warganya. Rumah layak, sehat, dan produktif bukanlah kemewahan—melainkan hak dasar warga kota. Kita butuh perumahan sejoli: yang menyatukan aspek sosial dan ekologis dalam satu tatanan perkotaan yang manusiawi.”
— Zulfi Syarif Koto, Ketua Umum The HUD Institute, dalam kata-kata HUT Jakarta.

Jakarta boleh punya satu nama, nama nyang mendunia, akan tetapi wajahnya banyak. Jangan biarkan sebagian wajahnya hilang dalam pembangunan yang lupa daratan. Lirikan mata yang senyum ala abang none Jakarta jangan alpa. Walau menghargai budaya Betawi bukan hanya gagah terpampang ondel-ondel saja di depan kantor pemerintah daerah-cum-pusat pan hotel milik konglomerat.

Karena kota yang tak memeluk semua warganya, bukan kota — tapi sandiwara besar dengan panggung yang tak bisa disentuh tangan “partisipasi bermakna” penonton-warga. Tahniah Jakarta Global dan Berbudaya kite, ya. Salam Satu Kota. Tabik. (asp)

Baca Juga: Gubernur Pramono Dukung Penuh Transformasi Bank DKI

Berita Lainnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Share via
Copy link