SIARDAILY, Jakarta – Wakil Ketua Umum Realestat Indonesia atau REI, Danny Wahid mengatakan, kebangkitan industri properti sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Sebab, sektor properti berkontribusi sebesar 13,6 persen terhadap pertumbuhan domestik bruto (PDB) nasional dan mampu menyerap tenaga kerja hingga 8,5 juta pekerja atau 6,95 persen dari total tenaga kerja nasional tahun 2020.
“Seperti disampaikan Presiden Jokowi saat membuka Rakernas REI lalu bahwa industri properti memiliki multiplier effect dan rantai pasok terhadap 175 industri lain yang sangat tinggi konten lokal,” ujar Danny, saat acara Diskusi FORWAPERA dengan tema “Peluang dan Tantangan Sektor Perumahan Tahun 2022” di Jakarta, Jumat 14 Januari 2022.
Meski berkontribusi cukup signifikan, menurut Danny, namun masih sangat banyak hambatan di lapangan. Salah satunya, menyangkut adanya kendala terkait Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).
“Mayoritas daerah belum menetapkan Perda Retribusi PBG. Kalau pemerintah tidak memastikan Perda PBG ini selesai di bulan Januari, maka akan berdampak pada produksi rumah dan serapan insentif PPN DTP (Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah),” tegas dia.
Danny mengusulkan, agar dilakukan relaksasi Sikumbang terhadap syarat PBG. Kemudian, kenaikan harga rumah subsidi dan rumah susun (rusun) untuk tahun 2022 segera ditetapkan.
Selain itu, REI meminta adanya fokus pada fasilitas pembiayaan untuk non fixed income (sektor informal) dengan memperbanyak kuota Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) dan dikhususkan untuk non fixed income.
“Sektor informal perlu mendapat perhatian lebih, karena jumlahnya semakin banyak, terutama selama masa pandemi,” ujarnya.
Baca juga: Kementerian PUPR Bangun 7.075 Unit Rusun untuk Tahun Anggaran 2021
Sementara itu. Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi). Junaidi Abdillah mengatakan, bisnis properti sudah teruji terbukti saat krisis 1998. Tren industri properti masih lebih tinggi dibandingkan sektor lainnya. Walaupun tahun ini masih ada penurunan, tetapi tren pertumbuhan industri properti masih tetap positif.
“Kendati terlambat, properti bisa berkontribusi dalam masa-masa sulit sekarang ini dan menjadi bagian dari industri strategis,” ujarnya pada kesempatan yang sama.
Namun, tambah Junaidi, industri properti kurang mendapat perhatian. Padahal, kontribusi industri properti sangat bagus. “Mudah-mudahan, pandangan positif bagi industri ini berlangsung untuk seterusnya,” tuturnya.
Jika dulu kuota kurang, lanjutnya, seharusnya hal ini tidak terjadi lagi, mengingat industri properti sangat strategis dan melibatkan banyak tenaga kerja padat karya. Dalam situasi pandemi saat ini, tenaga kerja padat karya di sektor properti dapat bertahan.
Setelah berlakunya UU Cipta Kerja, tambah Junaidi, banyak aturan turunannya menjadi hambatan bagi pengembang properti. Hal tersebut wajar, karena harus menyesuaikan dengan aturan baru, walau efeknya luar biasa besar. Regulasi turunan UUCK yang diharapkan mempercepat dan mempermudah, namun ternyata menjadi penghambat.
Backlog atau kekurangan ketersediaan perumahan, menurutnya, akan semakin tinggi jika PBG tidak segera selesai. Perizinan yang belum bisa terlaksana akibat proses PBG yang sampai sekarang belum jelas.
Menurutnya, perlu ada koordinasi lintas kementerian. Saat ini, ada lima kementerian yang terkait dengan PBG. Jika tidak ada sinergi lintas kementerian, backlog di tahun depan akan semakin besar. “Dampak PBG ini, baru terlihat di tahun depan,” ujar Junaidi.
Junaidi mengkhawatirkan akan terjadi kepanikan pengembang, jika PBG tidak segera selesai. Untuk itu, harus ada harmonisasi lintas kementerian dalam upaya kemudahan investasi terkait perizinan.
“Pemerintah harus memberi masa transisi, jika PBG belum bisa terlaksana. Bila pertumbuhan properti melorot, maka industri strategis ini akan turun. Jika tidak ada masa transisi, bisa terjadi kekosongan satu tahun dan backlog akan membengkak,” tegasnya.
Sedangkan Ketua Umum Himpunan Pengembang Pemukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra), Endang Kawidjaja mengatakan, pandemi yang berlangsung hampir dua tahun ini membuat sektor properti harus survive.
Dalam kondisi seperti ini, tambahnya, pemerintah harus menjadi lokomotif sektor perumahan, terutama rumah subsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Menanggapi hal itu, Presiden Jokowi telah meminta pengembang properti untuk menjaga momentum ekonomi di masa pandemi.
Di 2022 ini, agar target 230 ribu unit dapat tercapai, Himperra mengemukakan beberapa masukan. Pertama, dilakukan transisi pada tiap perubahan aturan/norma strandar prosedur dan kriteria (NSPK). Misalnya, pengalihan dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dari Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan/PPDPP ke BP Tapera yang memerlukan trial run agar transisi berjalan lancar.
Endang menilai, peralihan IMB menjadi PBG juga dinilai gagal. Hal ini tidak akan terjadi bila transisi dilakukan sejak awal. Selain itu, Himperra juga mengusulkan sistem one-submission permit (OSP) untuk rumah subsidi dan penyeragaman skema pembayaran agar efektif dan efisien.
Himperra juga menyoroti dampak UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang belum sesuai harapan, bahkan cenderung menghilangkan jejak panjang lex specialis bisnis rumah subsidi.
“Rumah FLPP makin lama makin sulit. Di satu sisi, rumah dituntut harus berkualitas, tetapi harga tidak naik dalam dua tahun terakhir. Saya khawatir jika ini berlanjut, tak ada lagi pengembang yang mau membangun rumah subsidi,” tutur Endang.
Ketua Umum DPP Aliansi Pengembang Perumahan Nasional (Appernas) Jaya, Andre Bangsawan pun mengeluhkan peraturan PBG yang sudah diberlakukan sebagai pengganti IMB, tetapi sistem tidak mendukung.
“Pihak pemda tidak dapat mengeluarkan PBG, dengan alasan Perda Pemberlakukan Tarif PBG belum terbit dan Pemda tidak mau memberlakukan Tarif PBG Rp0, sehingga pengembang stag tidak dapat meneruskan kegiatan pembangunan,” ujar Andre di kesempatan sama.
Untuk itu, dia meminta, BTN agar bisa membantu mengatasi, yakni dengan menonaktifkan Sikumbang. Selain itu, Appernas juga menyoroti pemberlakuan Buyback Guarantee yang memberatkan pengembang, karena alasan untuk jaminan user yang gagal bayar (menghindari NPL).
Sementara itu, adanya pengalihan pengelolaan dana FLPP dari PPDPP kepada BP-Tapera, Andre mengharapkan, tidak menghambat proses akad KPR-FLPP. Dia mencontohkan seperti sekarang ini, di mana masih belum bisa proses akad dan pencairan. Begitu pun, kinerja SDM jangan sampai berubah terkait lamanya pencairan KPR dan Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM).
Baca juga: The HUD Istitute Sorot Tujuh Isu Strategis Perumahan
Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang dan Pemasar Rumah Nasional (Asprumnas), Muhammad Syawali juga berharap, peralihan FLPP dari PPDPP ke BP Tapera dapat melanjutkan program yang selama ini tetap berjalan, bahkan dapat ditingkatkan.
“Kami juga sangat mengapresiasi PPDPP yang sangat luar biasa dalam melayani kami dari kalangan pengembang dan selalu memberikan solusi dari berbagai permasalahan yang dihadapi di lapangan,” katanya.
Terkait backlog, Syawali mengatakan, data yang disajikan pemerintah tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Sebab, jumlah backlog lebih banyak.
Untuk mengatasi itu, dia menyarankan, agar para pemangku kepentingan sektor properti Tanah Air melakukan kolaborasi. “Asprumnas berkomitmen untuk mendukung semua program perumahan rakyat yang diinisiasi pemerintah, agar rakyat, terutama MBR, bisa mendapatkan hunian yang layak dan terjangkau,” ungkapnya.
Tahun 2022 Dinanti Pengembang
Tahun 2022, menjadi tahun yang paling dinanti para pemangku kepentingan (stakeholder) sektor perumahan di Tanah Air. Sebab, di satu sisi, gelombang pandemi yang mulai surut—yang diikuti oleh menggeliatnya kegiatan ekonomi—membuat sejumlah pengembang bersiap-siap untuk tinggal landas (take off) dengan meluncurkan beragam produk.
Produk Kredit Kepemilikan Rumah (KPR), juga masih menjadi unggulan pilihan konsumen dalam mendapatkan rumah idaman. Fleksibilitas masa tenor dan pembayaran uang muka 10 persen, menjadikan produk ini banyak diminati konsumen. Sumber pembiayaan KPR mencapai 75,08 persen di Kuartal II 2021, pertumbuhan KPR secara tahunan (yoy) di Kuartal II 2021 mencapai 7,24 persen.
Beragam kebijakan yang dirilis pemerintah pun menjadi stimulus bagi sektor riil ini. Sebut saja, suku bunga acuan di level 3,5 persen (terendah sepanjang sejarah), relaksasi Loan to Value (LTV) yang memungkinkan konsumen mendapatkan KPR dengan uang muka 0%, serta Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) atas properti siap huni yang diperpanjang hingga akhir Desember 2021, melalui Peraturan Menteri Keuangan nomor 103/PMK.010/2021.
Perpanjangan insentif ini disambut hangat pihak pengembang dan terbukti meningkatkan penjualan rumah siap huni. Melihat hal ini, para pengembang pun mengusulkan agar insentif ini diperpanjang hingga 2022.
Di lain pihak, untuk pasar rumah subsidi, terjadi perubahan besar. Dana bantuan pembiayaan perumahan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang semula dikelola Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP), akhir tahun 2021 beralih ke BP Tapera (Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat).
Penyaluran dana FLPP tahun 2021, ditutup dengan angka tertinggi sejak dimulainya penyaluran pada 2010, yakni sebanyak 178.728 unit dengan nilai Rp19,57 triliun. Di 2022, Kementerian PUPR menargetkan KPR FLPP dapat membiayai sebanyak 200 ribu rumah. Menunjang mencapai target tersebut, pemerintah mengucurkan anggaran sebesar Rp23 triliun.
Di luar anggaran tersebut, pemerintah juga menganggarkan Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM) sebesar Rp812 miliar, Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) sebesar Rp1,6 miliar. Sedangkan program Subsidi Selisih Bunga (SSB) untuk tahun 2022, sudah tidak ada lagi. (as9)
Baca juga: 2022, BP Tapera Salurkan Pembiayaan untuk 309 Ribu Rumah